Salahseorang keluarga di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa Timur, Agus H Kanzul Ficki berharap agar seluruh alumni, simpatisan, muhibbin untuk tidak takziah ke Pondok Al Falah. Surabaya 17 Okt 2020 09:38 Pengasuh Ponpes Al-Falah Ploso Fuad Mun'im Djazuli Tutup Usia.
3235 Likes, 18 Comments - PP. Al Falah Ploso (@alfalah_ploso) on Instagram: "H-21 HAUL AKBAR 2022 MASYAYIKH PONPES AL FALAH PLOSO KEDIRI - KH. ACHMAD DJAZULI UTSMAN KE 48 -"
KHZainuddin Djazuli dikenal sebagai ulama senior di Jawa Timur
PesantrenAL-Falah Mojo-Ploso, Kediri. Redaksi; August 15, 2019; Sejarah Berdirinya. Berawal dari keinginan KH. Ahmad Djazuliuntuk mengamalkan ilmu yang didapatnya dari kota Makkah al-Mukaaromah, ia kemudian merintis berdirinya sebuah pondok pesantren. Bersama dengan Muhammad Qomar yang merupakan muridnya, ia merintis pesantren dengan cara yang
Sejarahprofil biodata Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri Jatim Jawa Timur pontren pp. Pesantren salaf ini didirikan pada tahun 1925 oleh KH. A. Djazuli Usman. SEJARAH PONDOK PESANTREN AL-FALAH PLOSO KEDIRI. Pada 1 Januari 1925, KH. A. Djazuli Usman mendirikan sebuah madrasah dan pondok pesantren. Ia memanfaatkan serambi Masjid untuk
Vay Tiá»n Nhanh Ggads. SEJARAH MUASSIS AL FALAH PLOSOKH. Ahmad Djazuli Utsman, Pendiri PP. Al Falah Ploso Kediri KH. DJAZULI USTMAN Sang Blawong Pewaris Keluhuran Pendiri PP. AL FALAH Dialah Masâud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri. AL FALAH Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Masâud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok. âCo, endang ning pondok !â âKulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.â Jawab Masâud âAyo, CoâŠmbesok kowe arep dadi Blawong, Co !â Masâud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Masâud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Masâud kerap mendapat julukan Blawong. Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa. Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik penghulu kecamatan. Sebagai anak bangsawan, Masâud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA Fakultas Kedokteran UI sekarang di Batavia. Belum lama Masâud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM. Utsman kedatangan tamu, KH. Maâruf Kedunglo yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan Madura. âPundi Masâud ?â tanya Kyai Maâruf. âKe Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,â jawab Ayah Masâud. âSaene Masâud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren,â kata Kyai Maâruf. Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Masâud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karesidenan Kediri. Masâud mengawali rihlah ilmiyahnya dengan di pesantren Gondanglegi Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qurâan, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi gramatika Arab dasar Nahwu selama 6 bulan. Setelah menguasai ilmu Nahwu, Masâud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan ilmu Shorf selama setahun di Pondok Sono Sidoarjo. Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk yang pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin. Kiai Zainuddin Mojosari dikenal banyak melahirkan ulama besar, diantaranya adalah KH. Abdul Wahhab Hasbullah Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasyim Asyâari, Masâud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung musala yang terletak tidak jauh pondok. Selama di Pondok Mojosari, Masâud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek piring kecil dengan lauk pauk sayur ontong jantung pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat. Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menopang biaya hidup di pondok, Masâud membeli kitab-kitab kuning yang masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-seringgit, hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu. Setelah sempat mondok di Mojosari, Masâud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah. H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Suâud. Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda. Sepulang dari tanah suci, Masâud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asyaâri. Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asyaâri untuk belajar, Hadrotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, âKamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.â H. Djazuli kemudian mengajar Tafsir Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masaâil seminar yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya. Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy. Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama H. Djazuli menghimpun âair keilmuan dan keagamaanâ. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyarakat. Merintis pesantren Al Falah Pada pertengahan tahun 1924, dengan satu masjid dan seorang santri bernama Muhammad Qomar, yang tidak lain adalah kakak iparnya sendiri, Haji Djazuli mulai merintis pesantren. beliau meneruskan pengajian untuk anakâanak desa sekitar Ploso yang sudah dimulainya dengan pulang pergi sejak masih berada di Karangkates. Jumlah murid pertama yang ikut mengaji ± 12 orang. Di penghujung tahun 1924 itu seorang santri Tremas bernama Abdullah Hisyam asal Kemayan ± 3 km selatan Ploso datang bertamu kepada Haji Djazuli sambil membawa salam dan suratâsurat dari sahabat lamanya. Akhirnya Hisyam melanjutkan belajarnya kepada kyai Djazuli yang memang sudah dikaguminya semenjak di Tremas. Berbekal tekad yang kuat, pada tanggal 1 Januari 1925 kyai Djazuli mengajukan surat permohonan pemantauan kepada pemerintah Belanda untuk lembaga baru yang kemudian dikenal dengan nama Al Falah. Karena Madrasah tersebut belum punya gedung maka tempat belajarnya menggunakan serambi masjid. Inilah awal keberangkatan Haji Djazuli menjadi seorang Kyai di usia yang masih muda 25 tahun. Cerita tentang berdirinya Madrasah sudah terdengar di kalangan yang lebih luas hingga satu demi satu santri berdatangan dan menetap di Ploso. H. Ridwan Syakur, Baedlowi dan Khurmen, ketiganya dari Sendang Gringging ditambah H. Asyâari dan Berkah dari Ngadiluwih merupakan santriâsantri pertama yang menetap. Suasana sudah terasa ramai dan masjidpun terasa sesak yang menimbulkan permasalahan baru yaitu mendesaknya pengadaan ruang belajar yang memadai. Direncanakanlah pembangunan sebuah gedung Madrasah. Dengan segenap tenaga, fikiran dan jerih payah yang tak ternilai, Kyai Djazuli keliling desa guna mengumpulkan dana untuk pembangunan tersebut. Beliau harus mengayuh sepeda berpuluhâpuluh kilometer sampai Kediri, Tulungagung, Trenggalek dan terkadang ke Blitar. Namun tak siaâsia banyak hartawan dan dermawan mengulurkan tangan sehingga pembangunan segera bisa dilaksanakan. Dipimpin oleh seorang tukang bangunan bernama Hasan Hadi, seluruh santri bahu membahu bergotong royong, begitu juga Kyai dan Ibu Nyai. Sampai pembangunan sudah layak untuk ditempati, tinggallah semen untuk lantai yang tak terjangkau oleh dana. Tak ada rotan akarpun jadi, maka dipakailah batu bata merah untuk lantainya, sehingga Madrasah yang berlokasi di depan Masjid dan terdiri dari 2 lokal itu terkenal dengan sebutan Madrasah Abang Madrasah Merah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1927. Konon KH. Hasyim Asyâari berkenan hadir pada acara selamatan/ syukuran pembangunan Madrasah tersebut, suatu peresmian yang sangat sederhana. Banyaknya santri yang menetap sudah tak tertampung lagi di Masjid sehingga timbullah permasalahan lagi yaitu pengadaan asrama pondok tempat bermukim bagi para santri. Maka pada tahun berikutnya 1928 dibangunlah asrama pertama yang diberi nama pondok D Darussalam yang disusul pada tahun berikutnya dengan pembangunan Pondok C Cahaya yang semula diperuntukkan sebagai tempat mujahadah bagi para santri. Pada tahun 1939 dibangunlah komplek A Andayani, sebuah asrama berlantai dua dilengkapi sebuah musholla di depannya. Dengan tersedianya asrama D, C dan kini A beserta musholla yang merupakan hak milik pondok pesantren diharapkan santri dapat tentram mengikuti pengajian dan kegiatanâkegiatan belajar lainnya. Pada akhir masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1941, kantor kenaiban diputuskan untuk pindah ke Mojo 6 km utara Ploso. Tentu saja perpindahan tersebut meninggalkan kekayaan yang berharga, di antaranya sebuah masjid, pendopo kenaiban, rumahârumah dan tanah pekarangan yang cukup luas. Untuk dapat memiliki kekayaan tersebut pihak pondok diminta untuk menyediakan tanah pengganti di Mojo. Untuk itu pondok mengeluarkan biaya 71 gulden Belanda Pada masa penjajahan Jepang, mengetahui bahwa Kyai Djazuli adalah orang yang mempunyai pendidikan umum yang cukup tinggi dan mampu untuk menjalankan tugasâtugas kepemimpinan formal yang berkaitan dengan administrasi, diangkatlah beliau sebagai Sancok Camat dan dengan paksa pula beliau diharuskan mengganti sarung, kopyah dan surbannya dengan celana pendek, topi dan sepatu. Jepang beranggapan beliau adalah Kyai, seorang tokoh informal yang bisa dipakai untuk propaganda 3A dengan semboyan Nippon cahaya AsiaNippon pelindung Asia danNippon pemimpin Asia. Beliau menjalankan kemauan Jepang dengan alasan BidâDlorurot, sebab jika beliau tak mau, Jepang menjadi curiga bahkan tak seganâsegan membunuhnya seperti yang dilakukan terhadap banyak Kyai waktu itu, bila hal itu terjadi yang rugi bukan Kyai Djazuli pribadi atau keluarganya saja, akan tetapi umat Islam. Bukankah pondok yang tengah dirintisnya setapak demi setapak mengalami kemajuan? Akan tetapi dalam tugasâtugasnya di tengah masyarakat, Kyai Djazuli menyampaikan dakwah Islam bukan dakwah Jepang. Diajaknya rakyat untuk tetap bersabar dan tidak putus asa menghadapi cobaan pahitnya dijajah, diajaknya rakyat untuk bertobat dan mendekatkan diri kepada Allah yang kuasa agar pertolongan Allah segera datang. Dari sancok beliau dipindah tugaskan ke Pare, sebagai ketua parlemen Ketua DPRD Tk. II setiap pagi beliau sudah dijemput dengan kendaraan untuk menjalankan tugas dan baru diantar pulang menjelang maghrib. Dalam kesibukan seperti itu beliau tetap berusaha agar dapat mengajar ngaji di tengah santriâsantrinya, maka setelah istirahat sejenak selepas maghrib beliau mengajak para santri berkumpul di masjid. Ternyata perlakuan Jepang terhadap Kyai Djazuli dengan caraâcara di atas belum dianggapnya cukup, puncaknya adalah dimasukkannya beliau ke dalam daftar KAMIKAZE Pasukan berani mati Kyai yang sangat disayang dan dibutuhkan oleh ummat itu kini akan diambil oleh Jepang untuk diserahkan nyawanya begitu saja kepada tentara sekutu. Oleh karena itu Saâidu Siroj lurah pondok pertama merasa tak tega melihat perlakuan Jepang yang biadab ini. Pemuda Tulungagung ini tampil dengan berani untuk mewakili Kyai, gurunya yang diagungkan. Dia rela nyawanya melayang sebagai tumbal dan demi keselamatan pimpinan Pondok pesantren. Hingga pada akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat dan angkat kaki dari Indonesia. Alhamdulillah, selamatlah Kyai Djazuli dari KAMIKAZE. Kegiatan pondok yang sempat terganggu di zaman Jepang kini telah berakhir, penyempurnaanâpenyempurnaan di bidang kurikulum dapat terus dilakukan. Gaung kemajuan Al Falah semakin menyebar ke kalangan yang lebih luas sehingga jumlah santri melonjak menjadi ±400 orang dalam waktu sekitar dua tahun. Tahun 1948, belanda melancarkan agresi militer. sehingga para santri ikut berjuang mempertahankan agama dan negara. Bahkan dua orang dari santri Ploso gugur di medan juang, sebagai syuhada bunga bangsa. Selama dua tahun pula pondok Ploso sepi tanpa santri dan kosong dari pengajian Yang tersisa hanya 5 orang santri yang sudah bertekad hidup dan mati di pondok. Mereka itu adalah Zainuddin dari KebumenMasâuddin dari YogyakartaKholil dari soloKholiq Dhofir dari KediriRomli dari Trenggalek. Tahun 1950 situasi kembali aman, dan kegiatan pondok diaktifkan kembali. Zainuddin Kebumen diangkat sebagai lurah pondok yang bertugas mengelola jalannya roda pendidikan setelah masaâmasa agresi. Sedangkan 5 orang temannya yang di masa agresi tetap tinggal di pondok diangkat sebagai pengurusâpengurus lain. Berangsurâangsur para santri kembali ke pondok setelah mengalami libur panjang selama 2 tahun. Jumlah santri 400 orang sebelum agresi sudah datang, bahkan terus bertambah dengan datangnya santriâsantri baru secara berangsurâangsur. Kepadatan warga mulai terasa lagi di pondok Al Falah sehingga perluasan harus segera diwujudkan. Maka pada tahun 1952 kyai Djazuli beserta segenap para santrinya membangun sebuah asrama yang diberi nama komplek B Al Badar. Memasuki usianya yang ke-25 tahun di tahun 1950âan, sejalan dengan berkembangnya fasilitasâfasilitas gedung, peralatan dan sebagainya, maka perbaikan dan penyempurnaan juga ditingkatkan di bidang sistem pendidikan seperti kurikulum, metode interaksi dan lainâlain. Penyempurnaan tersebut diarahkan berkiblat kepada sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba oleh Kyai DjazuIi selama mondok di sana pada tahun 1923. Maka sistem belajar mengajar di Al Falah ini terus berlangsung dengan berpedoman kepada sistem Tebuireng hingga sekarang. Tak berlebihan bila dikatakan bahwa Pondok Al Falah adalah duplikat monumental dari Pondok Tebuireng di masa KH. Hasyim Asyâari tahun 1923. Kyai Djazuli rupanya mempunyai prinsip yang kokoh dan sangat yakin kepada sistem salafiyah yang dipilihnya, sehingga beliau tetap konsisten untuk melestarikannya. Dan ternyata Kyai Djazuli tidak salah pilih sebab sistem salafiyah tetap punya pendukung dan penggemar di kalangan ummat Islam. Begitulah kenyataannya sekitar tahun 1960âan santri terus meningkat sehingga fasilitas gedung yang ada sudah tak menampung lagi. Untuk mengatasi masalah ini pada tahun 1957 dibangun dua unit bangunan asrama yang diberi nama Komplek G Al Ghozali dan Komplek H Hasanuddin. Begitu seterusnya lima tahun berikutnya pondok terasa sesak lagi dan dibangunlah Komplek AA Al Asyhar pada tahun 1962. Pondok Al Falah semakin anggun dengan bangunan-bangunan yang sudah berderet seiring dengan wibawanya yang makin dirasakan oleh masyarakat luas. Pengaruh pondok yang dihuni oleh ±600 orang santri ini semakin kuat di tengahâtengah masyarakat abangan Ploso. Gangguanâgangguan pihak luar yang ditujukan kepada pondokpun berangsurâangsur berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Masyarakat sudah rataârata menunjukkan sikap simpati dan berduyunâduyun menyekolahkan anaknya ke pondok yang mendorong dibukanya Madrasah Lailiyah malam khusus untuk anakâanak kampung sekitar, yang didirikan pada tahun 1957/1958. Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam tasawuf secara periodik setiap malam Jumâat bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang beliau amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar âAna thoriqoh taâlim wa taâallumâ ,dawuh beliau berulangkali kepada para santri. Pasangan KH. Djazuli dengan Ibu Nyai Rodliyah dikaruniai 8 anak putra dan 3 anak putri Siti Azizah meninggal diusia 1 thnHadziq meninggal diusia 9 blnKH. A. Zainuddin DjazuliKH. Nurul Huda DjazuliKH. Hamim Djazuli Alm. Gus MiekKH. Fuad Munâim DjazuliMahfudz meninggal diusia 3 thnMakmun meninggal diusia 7 blnKH. Munif Djazuli AlmIbu Nyai Hj. Lailatul Badriyah DjazuliSuâad meninggal diusia 4 bln Hadratus Syaikh KH. A. Djazuli Utsman menghadap kepada yang kuasa pada jam wib hari Sabtu wage 10 januari 1976 bertepatan dengan 10 Muharam 1396 H. Ű„Ùۧ ÙÙÙ ÙŰ„Ùۧ ۧÙÙÙ Ű±Ű§ŰŹŰčÙÙ Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri. Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat menjelang wafatnya KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian Sang Blawongâ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu. Beliau wafat tanpa meninggalkan apaâapa berupa harta benda, sawah, ladang ataupun emas permata. Tetapi sebuah pondok pesantren Al Falah telah melebihi segalanya. Sukses besar mencetak putraâputrinya menjadi manusia-manusia sholeh sholehah akan mendatangkan kebahagiaan tersendiri di alam barzah dan di akhirat. Masih ditambah lagi dengan ilmu manfaat yang beliau tinggalkan akan mengalirkan pahala terus menerus, jauh lebih deras dari aliran sungai Brantas sepanjang masa. Ketiga perkara itu telah diraih dengan gemilang oleh Kyai Djazuli berupa ilmu manfaat, anak sholeh yang akan selalu berdoâa dan amal jariyah berupa Al Falah yang kian megah. Refrensi PP. AL FALAH PLOSO INDUK alfalah
Pondok Pesantren Al Falah yang berdiri pada tahun 1925, sejak awal berdirinya sampai hari ini masih tetap eksis mempertahankan status salafiyahnya, tidak tergoda dengan dinamika pendidikan yang berkembang akhir akhir ini. Perkembangan santri yang mondok di pondok induk pun setiap tahun selalu mengalami kenaikan. Nampaknya derasnya arus modernisasi tidak menghambat laju pesantren salaf seperti Al Falah dan pondok pondok salaf yang lain. Hal ini adalah bukti karomah serta keberkahan sang muassis pondok, Al Maghfur lah KH. Ahmad Djazuli Utsman serta sang Ummul Maâhad simbah Nyai Rodliyah Djazuli, sang Robiâah al Adawiyah-nya Al Falah. Sampai hari ini Al Falah telah melahirkan banyak alumni yang tersebar di berbagai penjuru nusantara, bahkan hingga negeri tetangga seperti Malaysia. Bersama para putra putri, Al Falah sekarang berkembang jauh dan pesat sesuai dengan cita cita luhur sang muassis dalam menjawab harapan masyarakat luas, Taâlim wat Taâallum Li Iâlai Kalimatillah. Bahkan tidak hanya pondok induk, Al Falah juga memiliki cabang yang dikelola oleh para dzurriyah kiai Djazuli dan tersebar di beberapa tempat di Desa Ploso. Berikut ulasan singkatnya Al Falah II Al Falah II merupakan salah satu cabang dari pondok Al Falah. Didirikan pada tahun 1985 oleh KH. Ahmad Zainuddin Djazuli, putra pertama al maghfur lah KH. Ahmad Djazuli Utsman. Lokasinya terletak 100 meter sebelah selatan pondok induk. Sepanjang perjalanannya, pondok Al Falah II merupakan pondok salaf seperti halnya pondok induk, dimana para santrinya mengaji pengajian wajib yang diasuh oleh para Masyayikh Al Falah, dan pada pagi harinya menempuh pendidikan di MISRIU Al Falah. Namun beberapa tahun terakhir, Al Falah II juga menerima santri yang bersekolah formal. Hal ini untuk menjawab harapan masyarakat yang semakin besar terhadap pondok pesantren Al Falah, sekaligus untuk mencetak santri-santri yang multifungsi. Mereka yang menempuh pendidikan formal tersebar di beberapa sekolah yang ada di wilayah kecamatan mojo, baik tingkat SMP/MTs ataupun SMA/Aliyah. Diantara sekolah yang menjadi rujukan para santri Al Falah II adalah SMAN 1 Mojo, MA Sunan Kalijogo, SMA Queen Al Falah, SMK Queen Al Falah, SMPN 1 Mojo, SMPN 2 Mojo, MTs Sunan Kalijogo, MTs Sunan Muria. Meskipun ada santri santri yang mengenyam pendidikan formal, akan tetapi kegiatan mereka tetap sama dengan para santri salaf. Mereka tetap diwajibkan untuk mengaji, sorogan, dan bandongan. Merekapun juga diwajibkan untuk sekolah diniyah di MISRIU Al Falah II. Sekarang ini jumlah santri Al Falah II sekitar 500 an santri dengan 35 kamar. Download brosur Al Falah II disini Al Falah Putri Sesuai dengan namanya, Al Falah putri merupakan pondok pesantren yang dikhususkan untuk para santri putri yang diasuh oleh KH. Nurul Huda Djazuli. Sama seperti Al Falah induk, para santri Al Falah putri juga tidak menempuh pendidikan formal. Tetapi mereka bersekolah di Madrasah MISRIU lil banat. Awalnya pondok putri terletak di belakang ndalem kasepuhan atau pendopo, satu lokasi dengan ndalem Ibu Nyai Hj. Marwiyatus Sholihah. Namun pada perkembangannya lokasi pondok putri berpindah ke utara pondok induk + 100 meter sebelah barat jalan. Sekarang, di dalam kompleks pondok Al Falah putri terdapat beberapa unit pondok pesantren, diantaranya Al Falah Putri, untuk para santri putri salaf MQ, untuk santri putri yang menghafal Al Qurâan tahaffudzul qurâan Tsuroyya, untuk santri putri yang bersekolah formal Az Zahir, untuk santri putra yang bersekolah formal. Dalam perkembangannya, pondok Al Falah putri tidak hanya menerima santri salaf saja, akan tetapi juga santri yang bersekolah formal baik putra maupun putri. Download brosur Al Falah Putri disini Nurul Falah Nurul Falah atau dulunya akrab disebut pondok Ndalem Yai Fuad DYF. Merupakan pondok pesantren yang diasuh oleh KH. Fuad Munâim Dzajuli. Terletak 50 meter utara pondok induk, bersebelahan dengan Poliklinik Pesantren POLITREN Al Falah. Di pondok ini ada santri putra dan putri, baik yang salaf ataupun yang bersekolah formal. Download brosur Nurul Falah disini Queen Al Falah Queen Al Falah merupakan pondok pesantren yang sejak awal didirikannya menerima santri santri yang menempuh jenjang pendidikan formal. Berlokasi + 250 meter sebelah barat pondok induk, pesantren ini didirikan oleh Al Maghfur lah KH. Munif Djazuli. Pesantren ini mulai direncanakan pendiriannya pada tahun 1992, dan direalisasikan pada periode tahun 1994-1995. Secara administratif pesantren ini berdiri pada periode tahun 1996-1997, dimana pada awal permulaanya hanya memiliki 3 kamar dengan 35 santri. Sampai hari ini, tidak kurang dari 1800 an santri putra dan putri yang masih aktif belajar dan mengaji di pesantren ini. Sesuai dengan namanya yakni Queen yang berarti âRatuâ adalah menggambarkan sosok âRatuâ nya Al Falah, yakni simbah nyai Rodliyah Djazuli, karena berdirinya pesantren ini adalah wasit dari beliau. Pada hari Senin malam, 30 Januari 2012, muassis pondok Queen KH. Munif Djazuli berpulang ke Rahmatullah. Dan sekarang kepemimpinan pondok Queen Al Falah dilanjutkan oleh putra beliau KH. Ahmad Hasby, dibantu segenap dzurriyah Al Maghfur lah KH. Munif Djazuli. Informasi lebih lanjut dan pendaftaran santri baru silahkan kunjungi kami disini. Download brosur Queen Al Falah disini Al Badrul Falah Pesantren ini terletak + 150 meter sebelah selatan pondok induk. Didirikan oleh satu satunya putri muassis Al Falah, yakni Ibu Nya Hj. Lailatul Badriyah Djazuli. Pondok Pesantren ini menerima santri dari berbagai tingkatan usia. Terdapat asrama putra anak anak dan dewasa, serta asrama putri anak anak dan dewasa. Disini para santri diterima dalam berbagai jenjang pendidikan yang dijalaninya. Ada yang menempuh pendidikan formal, baik tingkat SD s/d SMA, juga santri yang menempuh pendidikan salaf di MISRIU, bahkan ada yang mengikuti program tahaffudul qurâan. Download brosur Al Badrul Falah disini Tarbiyatul Qurâan PPTQ Al Falah Pondok Pesantren Tarbiyatul Qurâan PPTQ Al Falah terletak 100 meter sebelah barat pondok induk. Didirikan dan diasuh oleh KH. Umar Faruq, putra KH. Ahmad Zainuddin Djazuli. Sepanjang kiprahnya, PPTQ merupakan pondok tahfidz yang dikhususkan bagi santri perempuan. Namun untuk menambah wawasan para santri putri dalam memahami isi kandungan ayat dan susunan ilmu alat, maka diselenggarakanlah program madrasah melalui MISRIU PPTQ Al Falah. Seiring berjalannya waktu serta banyaknya harapan wali santri yang menginginkan dibukanya jenjang formal, maka mulailah diterima para santri yang mengikuti program tahaffudzul qurâan sekaligus mengenyam pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang tersebar di wilayah kecamatan Mojo. Tujuan dibukanya jenjang tersebut adalah untuk melahirkan para santi putri yang multifungsi. Download brosur PPTQ disini Manhajul Qurâan MQ Pondok Pesantren Manhajul Qurâan terletak di dusun kepet, sekitar 500 meter sebelah barat pondok induk. Didirikan dan diasuh oleh KH. Mustofa Hadi atau yang biasa dikenal Gus Tofa, putra menantu KH. Nurul Huda Djazuli bersama sama dengan sang istri, Ning Hj. Aâthi Inayati atau ning Tatik. Cikal bakal berdirinya pesantren ini berawal dari kegiatan sorogan Al Qurâan yang bertempat di Ndalem Gus Tofa oleh para santri Al Falah ataupun anak anak sekitar ploso, baik yang dilakukan dengan cara binnadzor maupun bilghoib. Hingga pada tahun 2004 mulailah ada santri yang mukim di ndalem Gus Tofa untuk belajar dan mendalami Al Qurâan. Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya jumlah santri yang mukim di ndalem beliau, serta berbekal restu romo KH. Nurul Huda Djazuli, dimulailah pembangunan pesantren dengan pelatakan batu pertama pada hari Rabu Pahing, 30 Oktober 2013. Dan secara administratif pesantren ini terbentuk pada periode tahun 2013-2014 M dengan 2 kamar serta + 27 santri pada awal penempatannya. Download brosur Pondok Pesantren Manhajul Qurâan disini Tuhfatul Athfal Pondok Pesantren ini terletak paling jauh dari pondok induk. Berlokasi di dusun Baran Desa Maesan, + 2,7 kilometer sebelah barat daya pondok induk. Pesantren ini dirintis oleh KH. Athoillah atau Gus Athoâ. Download brosur Pondok Pesantren Tuhfatul Athfal disini Tabassam Al Falah Pondok Pesantren Tabassam adalah pondok pesantren yang terletak di dusun Tanjang desa Ploso, sekitar 400 meter sebelah barat balai desa Ploso. Pesantren ini didirikan oleh KH. Muhammad Maâmun atau Gus Makmun, putra Ibu Nyai Hj. Lailatul Badriyah Djazuli. Jauh sebelum pesantren ini berdiri, gus makmun telah lebih dahulu melaksanakan kegiatan taâlim dan taâallum bersama sama anak anak sekitar desa Ploso. Sama seperti dzurriyah kiai Djazuli yang lain, beliau sangat getol dalam membina pendidikan agama. Lambat laun mulailah ada santri yang mukim di ndalem beliau, hingga pada akhirnya dibangunlah asrama untuk para santri. Download brosur Pondok Pesantren Tabassam Al Falah disini DNE Ndalem Ning Eva Pondok Pesantren DNE terletak di sebelah barat pondok Tabassam. Pesantren ini didirikan dan diasuh oleh Ning Hj. Eva Munaifah Djazilah atau Ning Eva bersama sang suami Gus H. Aris Dwi Khoiron. Download brosur Pondok Pesantren DNE disini
biaya ponpes al falah ploso